Islam Nusantara

Berita Utama

Peristiwa

Showbiz

Ad Placement

Foto

Video

Saturday, July 6, 2019

KESABARAN KH. HASYIM SHOLEH DIUJI SANG MURSYID (GUS MIEK)

ISNUSA - Salah satu alasan mengapa Majelis Sema’an Al Qur'an dan Dzikrul Ghofilin bisa berkembang pesat dan tersebar luas adalah karena Gus Miek mempunyai pengikut, santri, karib dari kalangan Kiai-kiai ternama di daerah–daerah, yang dengan ikhlas lahir bathin siap mengembangkan majelis ini.

Salah satu "tangan kanan" Gus Miek adalah KH. Hasyim Sholeh. Masyarakat sekitar kerap memanggilnya Mbah Hasyim Mayak (Mayak, merujuk pada nama dukuh/desa) Pendiri Pondok Pesantren Darul Huda, Ponorogo yang hingga kini dibuat ngangsu kaweruh ribuan santri. Kesiapan lahir bathin tersebut salah satunya bisa disimpulkan dari cerita berikut:

Kisah ini penulis dapat ketika masih nyantri di Pondok Pesantren Darul Huda, Ponorogo, pada suatu forum mengaji yang diampu oleh Gus Sami’ (Putra KH. Hasyim Sholeh). Beliau bercerita dengan intonasi yang lembut nan khas.

Di saat majelis sima’an Al-Qur'an dan Dzikrul Ghofilin masih terpusat di daerah Kediri, banyak jemaah dari luar kota yang berbondong–bondong menghadiri majelis tersebut, tak terkecuali rombongan dari Ponorogo yang dipimpin KH. Hasyim Sholeh. Pada suatu momen sima’an, Gus Miek melihat rombongan Ponorogo kian bertambah banyak. Gus Miek menilai sudah saatnya Ponorogo mendirikan majelis sendiri. Dipanggillah Mbah Hasyim menghadap.

“Kiai, njenengan saya amanahi merintis sima’an di Ponorogo ya?” pinta Gus Miek.

“Iya, Kiai.” Jawab Mbah Hasyim dengan penuh ta’dzim.

“Njenengan cari waktu yang sesuai, nanti saya sendiri yang akan meresmikan.”

“Iya,  TimpKiai.”al Mbah Hasyim sekali lagi.

Waktu yang direncanakan pun telah tiba. Bertempat di depan kediaman Mbah Hasyim, para jemaah berkumpul membentuk lingkaran dengan sebuah tumpeng di tengahnya. Majelis hanya tinggal menunggu kedatangan Gus Miek.

Waktu terus berjalan namun Gus Miek tak kunjung datang. Jemaah pun mulai resah termasuk Mbah Hasyim selaku shohibul hajat. Setelah dirasa Gus Miek tidak datang, jemaah pun satu persatu pamit pulang dengan memendam rasa kecewa, tak terkecuali Mbah Hasyim sendiri.

Di kesempatan sima’an selanjutnya, Mbah Hasyim tetap berangkat. Kekecewaan lantaran tidak hadirnya Gus Miek dalam rencana peresmian majelis tempo hari tak membuatnya patah hati. Setelah majelis selesai, Gus Miek memanggil Mbah Hasyim yang berada di tengah rombongan Ponorogo.

“Mohon maaf kiai, kemarin berhalangan hadir, njenengan cari waktu lagi ya? Oh iya, sekalian siapkan pengeras suara yang bagus.” Pinta Gus Miek dengan nada mantap dan lugas.

“Iya, Kiai.” jawab Mbah Hasyim sembari berharap semoga kali ini benar–benar bisa datang.

Waktu peresmian telah tiba. Seperti biasanya, jemaah melingkar dan sebuah tumpeng berada di tengah lingkaran. Kali ini terdapat pengeras suara yang lebih besar dari sebelumnya. Semua sudah siap, tinggal menunngu sang Mursyid tunggal Dzkirul Ghofilin. Namun sang guru belum juga tiba. Mbah Hasyim berharap cemas dan tak ingin kembali mengecewakan para jemaah.

Tapi kenyataan berkata lain. Mbah Hasyim kembali kecewa, karena ternyata sang guru tidak hadir hingga majelis bubar. Di tengah malam yang sunyi, Mbah Hasyim keluar rumah dan berjalan menyusuri pinggiran jalan raya sambil sesekali meneteskan air mata.

“Apa sebenarnya diinginkan Gus Miek?"

"Apakah aku melakukan kesalahan hingga membuat beliau tidak mau hadir?"

"Ataukah Tuhan belum menghendaki majelis ini berdiri di Ponorogo?” bathin-nya terus bergejolak.

Di tengah gejolak hatinya, sebuah mobil lewat dari arah belakang mbah Hasyim. Mobil ber-plat "N1CA" itu tak lain dan tak bukan adalah mobil Gus Miek. Mobil itu berjalan pelan sendirian di tengah jalan. Seakan ingin menunjukan bahwa sebenarnya Gus Miek memang telah berada di Ponorogo dan sengaja tidak menghadiri kegiatan peresmian.

Pada kesempatan sima’an selanjutnya, Mbah Hasyim memantapkan hatinya untuk berangkat ke Kediri, seakan hatinya tegas berkata, “Ada atau tidak adanya majelis sima’an di Ponorogo tak akan menyurutkan semangatku untuk istiqomah hadir di majelis sima’an”. Pasca majelis selesai, seperti biasa mbah Hasyim dipanggil gus Miek.

“Mohon maaf Kiai, kemarin tidak bisa hadir. Njenengan kumpulkan lagi jemaah yang banyak, kali ini hukumnya wajib saya hadir.” pinta Gus miek dengan senyum ramah seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

“Iya, Kiai.” timpal Mbah Hasyim lirih.

Kali ini dibenaknya hanya pasrah, ini semua diniati semata mencari berkah sang guru.

Waktu yang ditunggu telah tiba. Kali ini selain tumpeng yang lebih besar, jemaah pun lebih banyak sesuai permintaan Gus Miek. Semua yakin dan mantab kali ini Gus Miek benar-benar bisa hadir. Namun harapan itu ternyata sirna. Gus Miek benar-benar tidak hadir untuk ketiga kalinya. Jemaah pun bubar. Tak ada peresmian malam itu. Tengah malam, mbah Hasyim berjalan menyusuri jalan, untuk sekedar meluapkan kesedihannya. Air matanya menetes. Dalam hatinya bermunajat,

“Ya Allah, berikan hamba kekuatan untuk menghadapi cobaan-Mu, semua yang hamba jalani semata hanya untuk meraih ridha-Mu.”

Di tengah kegalauannya, di jalan yang sama seperti yang lalu, Mbah Hasyim melihat ada mobil lewat di sampingnya. Mobil sang guru berjalan pelan dan berhenti. Kaca depan mobil itu terbuka dan wajah sang guru keluar di balik kaca mobil sembari melontarkan satu kalimat.

“Gimana, Kiai? Enak to?” dawuh Gus Miek dengan tersenyum tipis.

Setelah itu, mobil melaju kencang. Mbah Hasyim menunduk dan mengelus dada dengan perasaan campur aduk antara sedih, kecewa, dan pasrah. Konon di pertemuan selanjutnya Gus Miek berbicara empat mata dengan mbah Hasyim yang intinya serangkaian kejadian kemarin hanya sebuah ujian kecil dari sang guru.

“Kalau mau marah tidak perlu belajar, kecuali sabar, itu butuh belajar.” begitu pesan Gus Miek.

Singkat cerita sima’an mantab akhirnya diresmikan langsung oleh Gus Miek. Meskipun terdapat berbagai hambatan di awal berdirinya, namun berkat bekal ujian kesabaran dari SANG GURU, dan kegigihan sang murid serta atas ridha-Nya, seperti yang kita ketahui majelis sima’an Al-Qur'an dan Dzikrul Ghofilin semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Majelis ini ibarat oase di tengah keringnya aspek spiritual di kalangan masyarakat.
Kagem Beliau berdua, Al-faatihah.

Fathan Zainur Rosyid | Sabtu, 29 Juni 2019 | 16.40 WIB.

HUMOR GUS DUR : "Kiai dan Tiang Listrik"

ISNUSA - Humor ini cukup populer, berkat Gus Dur tentunya. Gus Dur melontarkan humor ini untuk menjelaskan bagaimana kiai tidak main-main dengan satu prinsip syariat Islam: maslahah, tentang kebaikan umat banyak.

Suatu hari Gus Dur berada dalam satu mobil dengan Kiai-kiai. Ada lima sampai enam orang Kiai. Mobil ber-AC. Tidak ada yang merokok, kecuali satu kiai. Kiai ini, sebut saja Kiai Ahmad. Karena kebiasaannya merokok, maka akhirnyapun beliau merokok.

Agar tidak mengganggu yang lain, Kiai Ahmad membuka jendel kaca. Dan di situlah tangan kiri Kiai Ahmad nyelonong keluar, memegang rokok yang telah di sulutnya. Tapi ada  seorang kiai yang tetap keberatan dengan sikap Kiai Ahmad yang Merokok ini. Kemudian beliau pun menegur Kiai Ahmad,

“Kiai, tahan dululah. Sejam lagi sampai kita. Di sana kita merokok.”
Kiai Ahmad yang ditegur diam saja.

“Kiai, mending matikan saja rokoknya. Dan tutup jendelanya. Bahaya juga kalau ada tiang listrik, tangan Sampean patah nanti,” seorang kiai yang keberatan menakut-nakuti Kiai Ahmad. Tapi Kiai Ahmad cuek.

Akhirnyapun Kiai yang keberatan tersebut melaporlah ke Gus Dur. Lalu Gus Dur yang duduk di depan bicara lirih,

“Bilang ke Kiai Ahmad, tangan dia kalau nabrak tiang listrik, bisa roboh tiangnya. Kalau roboh, mati lampu tiga kecamatan.”

Lalu disampaikanlah pesan Gus Dur itu ke Kiai Ahmad. Tanpa babibu, Kiai Ahmad mematikan rokok, memasukkan tangannya, dan menutup jendela.

Gus Dur menyampaikan pesan setelah bercerita, 

“Itulah kiai, tidak terlalu memperhatikan keselamatan dirinya, tapi kalau kemaslahatan umat, kiai tidak main-main. Kita harus pandai-pandai bicara dengan kiai.” (@ulama.nusantara)

ISNUSA | Senin, 01 Juli 2019 | 01.20 WIB.

Gus Baha' : "Perlunya Ilmu Mantiq dalam Mengenal Allah"

ISNUSA - Keinginan setan adalah agar manusia senantiasa tidak berpikir dengan selalu hidup bersenang-senang. Dengan menjalani kehidupan yang penuh kesenangan seketika akan membawa manusia untuk malas mencari tahu tentang siapa Tuhannya.

Inilah yang menjadi sebab utama munculnya faham nihilism, atheism yang sepertinya sangat kritis dan selalu mengedepankan logika dalam pola pikirnya kendatipun tak pernah menemukan bukti tentang keberadaan Tuhan.

Tujuan utama mengaji adalah mengenalkan seseorang terhadap Allah (Tuhan) dengan akal sehat. Kekeliruan yang kerap dilakukan para 'ulama adalah memulai dengan mengenalkan sebutan Allah tanpa memberi pemahaman logis tentang esensi Tuhan yang dapat diterima oleh mereka.

KH. Bahauddin Nur Salim atau yang seringkali hanya dikenal dengan sebutan Gus Baha’ dalam suatu pengajian mengatakan bahwa,

“Dalam ilmu mantiq yang diajarkan di pondok-pondok pesantren tidak pernah menyebutkan Allah, yang disebutkan adalah bahwa alam ini makhluk (ciptaan). dan setiap makhluk memerlukan Kholik (pencipta) untuk dapat menjadi ada. Alam ini adalah sebuah akibat, dan sebagai akibat akan selalu butuh sebab”.

Lalu Gus Baha menjelaskan bahwa, Sebab ini kita sebut musabibul asbab. Artinya sebuah ‘Sebab’ harus ada sebelum yang disebabi atau ‘Akibat’ itu sendiri ada.

“Wujud yang sekarang kita kenal ini membutuhkan penyebab atau yang kita kenal sebagai Wajibil Wujud atau wujud superior. Semua itu oleh Islam disebut dengan nama Allah”, papar kiai penekun tasawuf ini lebih lanjut.

Akal manusia hanya sampai pada rumusan bahwa alam ini butuh penyebab, yang oleh Einsten dan pemikir-pemikir modern dikenal dengan ‘Causa Prima’.

Maka menurut santri kesayangan Mbah Moen Sarang (KH. Maimoen Zubair) ini ilmu mantiq ala pesantren sangat penting agar kita tidak sering keliru dalam merekonstruksi bangunan tauhid dalam logika yang menjadi landasan penting dalam mengenal Allah melalui sifat-sifatnya.  (@ulama.nusantara)

ISNUSA | Senin, 01 Juli 2019 | 01.13 WIB.

Thursday, July 4, 2019

Mengenal Kutubus Sittah (Enam Kitab) Hadits Pokok.

isnusa.blogspot.com - Didalam mempelajari Ilmu agama, terdapat berbagai macam cabang keilmuan untuk dipelajari. Ada ilmu Fiqih, Ushul Fiqih, Ushuluddin, Tasawuf, Al-Qur'an dan banyak lagi. Dan diantaranya adalah Ilmu tentang Hadits, inilah Kutubus Sittah (enam kitab Hadits) yang pokok.

1. SHAHIH BUKHORI
Disusun oleh Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughiroh bin Bardizbah Al-Ja’fi Al-Bukhori. Dilahirkan pada hari Jum’at, 13 Syawal 194 H di kota Bukhara (Uzbekistan).

Pada usianya yang relatif muda,  beliau sudah mampu menghafal tulisan beberapa 'ulama ahli hadits yang ada di negrinya. Dan pada usia ± 16 tahun pula, beliau pergi ke Makkah bersama ibu dan saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 210 H, dan selanjutnya tinggal di Madinah dan menulis sejarah yang terkenal "Tarikh al Kabir".

Imam Bukhori tergolong orang yang memiliki sifat penyabar dan memiliki kecerdasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kecerdasan dan ketekunan dalam mempelajari hadits itulah kemudian beliau diberi gelar Amir al Mu’minin Fi Al-Hadits, oleh 'ulama-'ulama ahli hadits pada zamannya. Di samping sifatnya yang penyabar dan memiliki kecerdasan itu, beliau juga terkenal mempunyai sifat Wara’ dalam menghadapi kehidupan, dan ahli ibadah.

Al-Imam Al-Bukhori menghafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih, suatu kemampuan menghafal yang jarang ada tandinganya. Salah satu karya besar yang monumental yang ditulis oleh Imam Bukhori adalah kitab Jami’ As-Shahih yang dipersiapkan selama 16 tahun. Ketika hendak memasukkan hadits ke dalam kitab ini, ia sangat berhati-hati. Hal ini terlihat setiap ia hendak mencantumkan hadits dalam kitabnya, selalu didahului mandi, berwudlu, dan shalat istikhoroh meminta petunjuk kepada Allah tentang hadits yang ditulisnya.

Imam Bukhori menyatakan:

"Saya tidak memasukkan dalam kitab Jami’ ku ini kecuali yang shohih saja."

Jumlah hadits dalam kitab Jami’ itu sebanyak 7.397 hadits dengan ditulis secara berulang, dan tanpa diulang sebanyak 2.602 hadits yaitu hadits yang mu’allaq, muttabi’ dan mauquf.

Dalam teknis penulisanya, Imam Bukhori membuat bab-bab sesuai dengan tema dan materi hadits yang akan ditulisnya. Dan setelah selesai menulis kitab Shahihnya, Beliau memperlihatkanya kepada Imam Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Ma’in, Ibn al-Madani, dll dari kalangan ulama’-ulama’ hadits terdahulu. Dan mereka semuanya (para ahli hadits) menilai bahwa hadits-hadits yang terdapat di dalamnya, kualitasnya tidak diragukan, kecuali empat buah hadits saja dari sekian banyak hadits yang memerlukan peninjauan ulang untuk dikatakan sebagai hadits shahih. 


Imam Bukhori wafat di desa Khartank kota Samarkand pada tanggal 30 Ramadhan 256 H.

2. SHAHIH MUSLIM
Nama lengkap beliau adalah Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi. Dilahirkan di Naisabur pada tahun 204 H. Sejak masih kecil, beliau sudah mulai tertarik untuk menuntut ilmu. Berbagai tempat telah dikunjunginya untuk memenuhi kegemaranya tersebut.

Imam Muslim menerima hadits dari beberapa orang gurunya, disamping itu pula beliau menerima dari Imam Bukhori sendiri, selanjutnya karir intelektualnya mengikuti Imam Bukhori terutama dalam menulis kitab shahihnya. Hubungan keduanya sangat dekat.

Salah satu kitab hadits karya Imam Muslim, dikenal dengan sebutan Shahih Muslim, beliau tulis selama 12 tahun. Jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini, tanpa diulang-ulang sebanyak 3.030 hadits, dan jumlah keseluruhanya adalah 10.000 hadits.

Imam Muslim menyatakan tentang kitab shahihnya : 

"Aku tidak meletakkan sesuatu (riwayat) dalam kitabku ini, kecuali yang dapat dijadikan hujjah, dan aku tidak menggugurkan sesuatu (riwayat) yang ada dalam kitabku ini kecuali berdasarkan hujjah."

Sedangkan perjalanan karir Imam Muslim dalam mempelajari tentang hadits telah dirintis sejak kecil, yaitu sejak tahun 218 H. Upaya penelusuran hadis tidak terbatas pada wilayah melalui perjalanan panjang dan melelahkan, melainkan juga beliau banyak menemui guru, yaitu para ahli hadits yang beliau terima periwayatannya dari mereka. Maka dengan bekal semangat, kesabaran dan ketulusan yang tinggi, dan beliau lakukan hal itu dengan tekun hingga tercapainya tujuan.

Wilayah yang beliau kunjungi diantaranya; Baghdad, Hijaz, Syam, Mesir, Khurasan, Naisaburi, dan lainnya. Imam Muslim selama hidupnya telah cukup banyak menyumbangkan buah pikiran dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan hadits. Beliau wafat pada tahun 261 H di Naisabur.

Sebagai bahan perbandingan, kebanyakan para 'ulama hadits berpendapat bahwa kitab Shahih Bukhori lebih tinggi derajatnya dibanding dengan derajat kitab Shahih Muslim.

Salah satu yang menjadi alasanya adalah bahwa Imam Muslim terkadang meriwayatkan hadits dari Imam Bukhori, sedangkan Imam Bukhori tidak meriwayatkan hadits dari Imam Muslim.

3. SUNAN ABU DAWUD
Nama lengkap Imam Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq As-Sijistany. Beliau di nisbatkan kepada tempat kelahiranya, yaitu di Sijistan (terletak antara Iran dan Afganistan). Dilahirkan di kota tersebut, pada tahun 202 H (817 M).

Diantara deretan 'ulama-'ulama yang telah diambil haditsnya, antara lain Sulaiman bin Harb, ‘Utsman bin Abi Syaibah, Al-Qa’naby dan Abu Walid At-Thayalisy.

Diantara karyanya yang terbesar dan sangat berfaedah bagi para mujtahid ialah kitab Sunan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.

Beliau mengaku telah mendengar hadits dari Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu beliau seleksi dan ditulis dalam kitab Sunannya sebanyak 4.800 buah.

Beliau berkata :

”Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkannya. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan shahih, semi shahih (yushibuhu), mendekati shahih (yuqoribuhu), dan jika terdapat dalam kitab saya yang wahnun syadidun (sangat lemah) saya jelaskan. Adapun yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai shahih dan sebagian dari hadits yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain".

Para 'ulama telah sepakat menetapkan beliau sebagai hafidz, pemilik ilmu yang melimpah, muhaddits yang terpercaya, Wira’i, dan mempunyai pemahaman yang tajam, baik dalam ilmu hadits maupun lainnya.

Imam Ghazali memandang cukup, bahwa kitab Sunan Abu Dawud itu dibuat pegangan bagi para mujtahid.
Beliau wafat pada tahun 275 H (889 M) di Bashrah.

4. SUNAN AT-TURMUDZI
Nama lengkap Imam Turmudzi / Tirmidzi adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil di pinggir Utara Sungai Amuderiya, disebelah Utara Iran.

Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan Dzulhijjah tahun 200 H (824 M). Imam Bukhori dan Imam Turmudzi, keduanya satu daerah, sebab Bukhara dan Turmudzi adalah satu daerah dari daerah Warauhan-nahar.

Beliau mengambil hadits dari para 'ulama hadits ternama seperti; Imam Qutaibah bin Sa’id, Imam Ishaq bin Musa, Imam Bukhori dan lain-lainnya. 

Beliau menyusun kitab Sunan dan kitab I’Ilalul Hadits. Kitab ini bagus sekali, banyak faedahnya dan hukum-hukumnya lebih tertib. Setelah selesai kitab ini ditulis, menurut pengakuan beliau sendiri, dikemukakan kepada 'ulama-'ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan 'ulama tersebut meridhainya serta menerimanya dengan baik. Pada akhir kitabnya beliau menerangkan, bahwa semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah ma’mul (dapat diamalkan).

Tidak seperti kitab hadits Imam Bukhori atau Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmidzi ini dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa arab tentunya. Imam Tirmidzi bertolak pada dasar apakah hadits itu dipakai oleh Fuqoha' (ahli fiqh) sebagai hujjah (dalil) atau tidak.

Beliau wafat di Turmudz pada akhir Rajab tahun 279 H (892 M).

5. SUNAN AN-NASA’I
Nama lengkap Imam An-Nasa'i adalah Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Sya’aib bin Bahr. Nama beliau dinisbatkan kepada kota tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H, di kota Nasa yang masih termasuk wilayah Khurasan. Beliau seorang muhaddits yang pintar, wira’i, hafidz lagi takwa, dan memilih Negara Mesir sebagai tempat untuk bermukim dalam menyiarkan hadits-hadits kepada masyarakat. Menurut sebagian pendapat dari Muhaddits, beliau lebih hafidz daripada Imam Muslim.

Guru-guru beliau antara lain: Imam Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim dan Imam-imam hadits dari Khurasan, Hijaz.

Karya beliau yang utama adalah Sunan Kubro, yang akhirnya terkenal dengan nama Sunan An-Nasai. Kitab ini adalah kitab Sunan yang muncul setelah Shahihain yang paling sedikit hadits dha’ifnya, tetapi paling banyak perulangannya.

Setelah Imam An-Nasa’i selesai menyusun kitab Kubro nya, beliau langsung menyerahkanya kepada Amir Ar-Ramlah.

Kata sang Amir: "Wahai Abu ‘Abdurrahman, apakah hadits-hadits yang saudara tuliskan itu shahih semuanya?"

"Ada yang shahih ada yang tidak." Jawab beliau.

"Kalau demikian,” kata sang Amir.

”Pisahkanlah yang shahih-shahih saja.”

Atas perintah Amir ini, maka beliau berusaha menyeleksinya, kemudian dihimpunnya hadits-hadits pilihan ini dengan nama Al-Mujtaba (pilihan).

Beliau wafat pada hari Senin, tanggal 13 bulan Shafar, tahun 303 H (915 M), di Ar-Ramlah. Menurut suatu pendapat, meninggal di Mekkah, yakni disaat beliau mendapat percobaan di Damsyik, meminta supaya dibawa ke Mekkah, sampai beliau meninggal dan kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Shafa dan Marwah.

6. SUNAN IBNU MAJAH
Nama lengkap Imam Ibnu Majah adalah Abu ‘Abdillah bin Yazid Ibnu Majah. Beliau dilahirkan di Qazwin pada tahun 207 H atau tahun 824 M.

Sebagaimana halnya para Muhadditsin dalam mencari hadits-hadits memerlukan perantauan ilmiah, maka beliau pun berkeliling di beberapa negeri, untuk menemui dan berguru hadits kepada para 'ulama hadits.

Dari tempat perantauanya itu, beliau bertemu dengan murid-murid Imam Malik, dan dari beliau-beliau inilah Imam Ibnu Majah banyak memperoleh hadits-hadits.
Hadits-hadits beliau banyak diriwayatkan oleh orang-orang banyak. Beliau menyusun kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ibnu Majah. Kitab Sunan susunan beliau ini, merupakan salah satu Sunan yang empat. Dalam hadits ini terdapat hadits dha'if, bahkan tidak sedikit hadits yang mungkar. Al-Hafidz Muzy berpendapat, bahwa hadits-hadits gharib yang ada dalam kitab ini, kebanyakan adalah hadits dha’if. Karena itulah para 'ulama mutaqoddimin memandang, bahwa kitab Muwatho’ Imam Malik menduduki pokok kelima, bukan Sunan Ibnu Majah ini.

Beliau wafat hari Selasa, bulan Ramadhan, tahun 273 H = th 887 M.

Wallahu a'lam. (Dofar Farhas)

Sabtu, 29 Juni 2019 | 09.00 WIB | ISNUSA.

Tuesday, July 2, 2019

Setan diantara Shaf Sholat Jama'ah

Isnusa.blogspot.com - "Gegara komen di status Wan Abd. Rasyid soal sholat mengangkang. Jum'atan kemarin aku kena karmanya."

Sampingku adalah anak muda trendi dengan celana pensil, khas generasi milenial syari'ah usia 20-an tahun. Ia mengisi shaf sebelah kiriku karena kosong.

Ketika imam meminta meluruskan shaf, jenthik kakinya menyentuh jenthik kakiku.  Karena risih,  ya aku kasih jarak sedikit, padahal lenganku sudah berhimpitan mesra dengan lengannya.

Takbiratul ihrom aman. Baru ketika kami mengamini Fatihah imam,  jenthiknya krugel-krugel (bergerak seperti ulat) mengejar jenthikku.  Sambil badannya tampak goyang-goyang maju mundur.

Sumpah..
Ketimbang anak-anak kecil dikampunku yang usil mainan beduk saat traweh,  anak muda sampingku ini jauh lebih mengganggu. Karena jenthiknya krugel-krugel terus tidak hanya menyentuh.
Tetapi disaat jenthikku lari,  aku sudah sedih dengan sholatku yang blas ra bermutu ini. Dan kemudian ini berlanjut lagi di rokaat kedua.

"Anak ini sepertinya sholatnya lebih takut dihadiri setan di kakinya,  ketimbang hadirnya Tuhan di fikirannya."

Sholat jumatku yang hadir malah jenthik kaki anak ini.  "Ya Allah, bocah ini tidak memberi ruang kepada setan dikakinya, tapi menghadirkannya di kepalaku."

"Tolong bro.."

"Bagi sampeyan yang mesra jenthiknya, ketimbang hati sebelahnya. Hargailah! Karena terkadang ada orang-orang yang risih dengan jenthik yang krugel-krugel seperti itu. Jangan hadirkan setan dalam  fikiran kami."
Itu..  Cuk.. 
(Kang Adang Legowo FB)


ISNUSA | Sabtu, 29 Juni 2019 | 11.03 WIB.

Belajar Agama Malah Masuk Neraka

isnusa.blogspot.com - Sungguh malang orang yang mempelajari ilmu agama dengan tujuan ingin mengungguli para ulama dan menuai pujian dari zu'ama serta orang-orang awam. Kepiawiannya di dalam meracik dan menyajikan argumentasi tidaklah menyelamatkan dirinya dan juga umat yang memuja dan memujinya. Jangankan menyelamatkan orang lain, menyelamatkan dirinya sendiri saja belum tentu bisa.

Tipe-tipe orang yang belajar untuk terlihat lebih unggul itu, biasanya kelihatan pongah di dalam setiap forum. Kata-kata melecehkan orang lain, selalu mudah keluar dari lisannya. Faedah yang bisa diambil dari perkataan orang seperti ini hanyalah ungkapan-ungkapan seperti;

"Mereka bodoh di dalam ilmu sunnah, mereka berpegang kepada cerita para guru mereka, dan mereka tetap setia kepada taqlid walaupun kebenaran telah datang di hadapan mereka."

Jarang sekali, orang-orang seperti itu mengawali pendapatnya dengan istighfar untuk dirinya dan pendapat yang akan dikritisi. Sungguh, mereka jauh dari sikap seperti yang ditunjukkan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'Anha, ketika mengkritik pendapat Sayyidina Abdullah ibnu Umar. Sayyidah Aisyah mengawali kritiknya dengan ungkapan;

رحم الله ابا عبد الرحمن وغفر الله له

"Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Abu Abdurrahman (Abdullah bin Umar), dan semoga selalu memberinya ampunan."

Dengan ungkapan itu, Sayyidah Aisyah menyadari bahwa pendapat Sayyidina Abdullah bin Umar walaupun dipandang "keliru" tetap berhak mendapatkan anugerah rahmat dari Allah.

Kekeliruan di dalam berpendapat, tidaklah menyebabkan terputusnya rahmat Allah kepada seseorang dan tidak pula menyebabkan jatuhnya harga diri seseorang.

Kini, di media sosial yang serba sarat dengan fitnah, umat disajikan dengan perdebatan yang saling menjatuhkan di antara masing-masing afiliasi. Semuanya mengaku berada pada sikap yang benar dan nyaris tidak ada ruang pengakuan atas kekhilafan yang telah dilakukan.

Gelar kesarjanaan dan latar belakang institusi telah mengaburkan kesadaran banyak orang, terhadap makna "inshaf". Banyak yang berpikir bahwa mengaku "keliru" akan berdampak kepada runtuhnya gengsi organisasi atau gengsi yang lainnya. Padahal, mengakui kekhilafan adalah termasuk dari bagian kecerdasan emosi. Karena pada dasarnya "no body is perfect" (tidak ada manusia yang sempurna).

Kesempurnaan hanyalah milik Allah dan Rasulullah mendapatkannya sebagai titipan atas nama Allah. Imam Malik bin Anas rahimahullah telah dengan bijak menempatkan inshaf itu melalui nasihatnya:

كل يؤخذ ويترك الا صاحب هذا القبر

"Setiap orang, bisa diambil dan bisa ditinggalkan pendapatnya kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad shalla Allahu alayhi wasallam)."

Namun, ada saja orang yang melihat pendapat Imam Malik ini secara utuh. Mereka malah menggunakan pendapat Imam Malik ini untuk "menghujat" para ulama hanya karena tidak sejalan dengan selera mereka.

Sungguh malang orang yang belajar ilmu agama untuk mengungguli para ulama. Karena ilmu agama adalah amanah yang pasti akan Allah minta pertanggung jawabannya. Jika amanah itu diabaikan, sudah pasti siksa neraka yang akan menjadi hasil panen bagi mereka yang mengabaikannya. Rasulullah bersabda:

من طلب العلم ليجاري به العلماء، اوليماري به السفهاء، أو يصرف به وجوه الناس إليه ادخله اللّه النَّار
{رواه الترمذي عن كعب ابن مالك}

"Sesiapa yang menuntut ilmu agama, tujuannya agar melampaui para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau agar orang-orang berpaling kepadanya, pasti Allah masukkan ia ke dalam neraka." (Riwayat al-Tirmidzi dari Ka'ab bin Malik, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam al-Musnad).

Maka dari itu, sudah seharusnya para pelajar ilmu agama, menyiapkan diri mereka untuk siap membawa amanah ilmu, dibandingkan mengurusi pendapat orang lain yang tidak sejalan dengan mereka. Sungguh, para salaf solih lebih sering menghisab diri mereka dibandingkan menghakimi pendapat orang lain.

Wallahul muwaffiq. (Abdi Kurnia Djohan)

ISNUSA | Minggu, 30 Juni 2019

Saturday, June 29, 2019

Ngaji Kepada Gus Baha: "Ketika Allah Tersinggung"

isnusa.blogspot.com - Salah satu kebiasaan buruk manusia ialah suka membawa-bawa nama Allah untuk kepentingan dirinya sendiri. Seolah-olah apa yang ada dalam pikirannya selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Padahal sejatinya kadang justru malah berkebalikan.

“Ini bisa membuat Allah tersinggung.” kata Gus Baha.

Gus Baha seringkali memberikan contoh tentang bagaimana Allah tersinggung bila ada hamba-Nya membawa-bawa nama Allah untuk kepentingan egonya. Salah satu contohnya, Gus Baha menyebutkan dalam Shahih Muslim dikisahkan ada seorang lelaki yang merasa dirinya benar karena ibadahnya.

“Ini riwayat shahih. Tidak bisa tidak.” tegas gus Baha.

“Ada orang sedang bersujud. Sujud iku apik-apike ibadah (Sujud itu merupakan sebaik-baiknya ibadah).”

Ketika Kang Fulan ini sedang bersujud, ada seorang ahli maksiat yang menginjak kepalanya. Ketika diinjak, Kang Fulan marah. Saking marahnya, dia bilang, “Fawallahi, Laa yaghfirulllahu laka (Demi Allah, Kamu tidak akan diampuni Allah).”

Merespon kejadian itu, Allah memberi wahyu kepada seorang Nabi. “Beri tahu kepada si Fulan yang sedang sujud itu. Bilang padanya, bagaimana mungkin dia mengatasnamakan sifatku pada seorang hambaku.” Maksudnya dia membawa-bawa nama Allah karena kemarahan dalam dirinya sehingga seolah-olah Allah tidak mungkin mengampuni orang yang menginjak kepalanya.

Gus Baha melanjutkan, “Beri tahu kepada si Fulan kalau Aku mengampuni orang yang menginjak kepalanya dan Aku tidak menerima sujudnya.”

Dalam hal ini, kata Gus Baha, para ulama hadis sepakat kalau Allah tidak suka namanya dicatut atau dibawa-bawa oleh orang lain. Apalagi dalam kasus ini. Mana mungkin Allah yang memiliki sifat Ghafuur (zat yang maha banyak mengampuni) kok tidak mengampuni dosa orang lain. Sedangkan si Fulan malah menuduh Allah tidak mungkin mengampuni. Ini sesuatu yang sembrono.

Betapa saat ini banyak orang yang marah entah karena apa lalu membawa-bawa nama Allah untuk menghakimi orang lain. Ini biasanya dilakukan oleh kelompok ekstrimis dan orang yang suka memvonis bid'ah. Jadi kita semua harus berhati-hati. Jangan gampang mengatasnamakan Allah untuk memenuhi ego kita.

Maka, kata Gus Baha, "Kita harus mengaji lagi agar tahu sesuatu yang benar dan yang salah.". (@nibrosuzzaman)

ISNUSA | Sabtu, 29 Juni 2019 | 13:21 WIB.

Ad Placement

Intermezzo

Travel

Teknologi